Senin, 29 Agustus 2016

Uji Biokompabilitias : in Vitro, in Vivo dan klinis

In Vitro
Pada prinsipnya pemeriksaan in vitro adalah jenis pemeriksaan yang dilakukan dalam tabung reaksi, piring kultur sel atau di luar tubuh mahluk hidup. Penelitian in vitro mensyaratkan adanya kontak antara bahan atau suatu komponen bahan dengan sel, enzim, atau isolasi dari suatu sistem biologik. Proses kontak dapat terjadi secara langsung, dalam arti bahan langsung berkontak dengan dengan sistem sel tanpa adanya barier atau dengan menggunakan barier.
Pemeriksaan in vitro dapat digunakan untuk mengetahui sitotoksisitas atau pertumbuhan sel, metabolisme set fungsi sel. Bisa pula pemeriksaan in vitro untuk me-ngetahui pengaruh suatu bahan terhadap genetik sel.
Ada beberapa keuntungan dari
pemeriksaan in vitro dibandingkan dengan jenis pemeriksaan biokompatibilitas lainnya, adalah sebagai berikut:
a. Membutuhkan waktu yang relatif singkat
b. Membutuhkan biaya yang relatif sedikit
c. Dapat dilakukan standarisasi
d. Bisa dilakukan kontrol

Sebaliknya, kerugian dari pemeriksaan in vitro adalah, karena tidak adanya relevansinya dengan kegunaannya secara in vivo di kemudian hari. Selain itu, kerugian lainnya adalah tidak adanya mekanisme inflamasi dalam kondisi in vitro. Hal yang penting diketahui adalah bahwa dari hasil pemeriksaan in vitro saja jarang bisa untuk mengetahui biokompatibilitas suatu bahan.
Pada pemeriksaan in vitro terdapat dua macam sel yang biasa digunakan yaitu sel primer clan sel kontinyu. Kedua sel tersebut mempunyai peran penting dalam melakukan pemeriksaan in vitro.
a. Sel primer : adalah sel yang langsung diambil dari organisme hidup untuk kemudian langsung dibiakkan dalam kultur. Sel jenis primer akan tumbuh hanya untuk waktu yang terbatas, tetapi mempunyai keuntungan bahwa masih tetap mempertahankan sifat sel pada kondisi in vivo. Merupakan jenis sel yang sering digunakan untuk melakukan pemeriksaan sitotoksisitas.
b. Sel kontinyu : adalah jenis sel primer yang ditransformasikan untuk dapat ditumbuhkan dalam kultur. Karena dilakukan transformasi, maka jenis sel ini tidak lagi mempertahankan semua sifat sel pada kondisi in vivo.



 In Vivo
Pemeriksaan in vivo untuk uji biokompatibilitas biasanya menggunakan binatang mamalia seperti tikus, kelinci, marmot atau kera. Pemeriksaan in vivo dengan menggunakan binatang cobs menimbulkan banyak interaksi yang sifatnya kompleks dalam menimbulkan terjadinya respon biologik. Sebagai contoh, suatu respon imun akan terjadi pada sistem tubuh hewan, hal mana pasti akan sukar terlihat pada sistem biakan sel. Oleh karena itu, respon biologik pada pemeriksaan in vivo secara umum lebih relevan dibandingkan dengan pemeriksaan in vitro.
Beberapa pemeriksaan in vivo yang biasa dilakukan, yaitu :
a. Pemeriksaan iritasi.
Untuk mengetahui apakah suatu material dapat menimbulkan inflamasi pada mukosa atau pada kulit. Metode yang dilakukan biasanya dengan menggunakan kelompok kontrol dan perlakuan, bahan dikontakkan pada mukosa mulut hamster atau marmot.Selang beberapa minggu, baik kontrol maupun perlakuan diperiksa. Hewan coba dibunuh untuk dibuat sediaan histologis, untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan terjadinya inflamasi.
b. Pemeriksaan implan
Untuk mengevaluasi bahan yang dikontakkan dengan tulang atau jaringan subkutan.
Biasanya bahan dikontakkan antara satu sampai sebelas minggu. Pada waktu yang telah ditentukan, respon jaringan dapat dievaluasi dengan pemeriksaan histologik, biokimiawi atau imunohistokimiawi.
Pemeriksaan implan juga dapat dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya inflamasi kronis atau pembentukan tumor. Pada pemeriksaan ini material dikontakkan untuk waktu yang lebih lama, yaitu antara satu sampai dengan dua tahun

Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan ini dilakukan baik pada hewan coba atau pada manusia. Jenis pemeriksaan ini berbeda dengan pemeriksaan in vivo, karena bahan harus dikontakkan sama dengan fungsi yang sebenarnya.
Hasil dari pemeriksaan klinis dalam menentukan biokompatibilitas bahan dapat langsung diterapkan, dengan catatan pada waktu penelitian telah dipertimbangkan faktor waktu, lingkungan, dan lokasinya. Untuk itu, pemeriksaan klinis dengan menggunakan hewan coba, biasanya digunakan binatang jenis lebih besar, yang mempunyai suasana lingkungan rongga mulut sama dengan manusia. Binatang yang biasa digunakan adalah kera atau anjing.
Pemeriksaan klinis bisa menjadi gold standard dari semua jenis pemeriksaan yang sudah dilakukan untuk menentukan apakah suatu bahan biokompatibel atau tidak. Kerugian dari pemeriksaan klinis adalah biaya yang diperlukan sangat banyak, membutuhkan waktu yang lama, memerlukan banyak persyaratan tentang etika penelitian, serta sangat sukar untuk dilakukan kontrol. Tetapi hasil pemeriksaan klinis mempu-nyai tingkat akurasi yang tinggi. Di bidang kedokteran gigi, yang biasa dilakukan untuk pemeriksaan klinis adalah pulpa gigi, jaringan periodonsium, atau jaringan mukosa.
a. Pemeriksaan iritasi pada pulpa gigi
Biasanya bahan yang akan diperiksa pengaruhnya terhadap jaringan pulpa gigi diletak-kan pada preparasi kavitas kelas - V, dengan menggunakan gigi kera atau hewan coba yang lainnya. Bahan yang akan diperiksa didiamkan dalam kavitas untuk waktu sekitar 1 sampai 8 minggu. Sebagai kelompok kontrol positif biasa digunakan semen silikat dan untuk kelompok kontrol negatif digunakan sink oksid eugenol.

Hubungan Pemeriksaan In Vitro, In Vivo Dan Klinis
Dalam bidang biokompatibilitas, ada beberapa ilmuwan yang mempertanyakan kegunaan pemeriksaan in vitro dan in vivo dalam kaitannya terhadap pemeriksaan klinis. Pada akhirnya diakui oleh para ilmuwan serta para industriawan bahwa ternyata cara yang paling tepat dan tinggi tingkat akurasinya, dalam meneliti biokompatibilitas bahan Baru, adalah dengan cara meneliti secara in vitro, in vivo, dan juga secara klinis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semua pesan dimoderasi, mohon menuliskan komentar dengan bahasa yang sopan dan isi komentar berhubungan dengan topik yang diposting. Kami akan merespons dengan segera